Selasa, 08 Juni 2010

Riset Akuntansi (jurnal 10)

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21

Pada PT. Ika Utama Transfer Express



ABSTRACT



Every company need the accounting system to earn the finance data become the accounting information. Accountancy is appliance to submit the information to proper parties, for example stockholder, fiskus and bank. Stockholder need the finance information to take the finance decision. Bank need it for the sake of credit gift, while government need it to draw the tax .

PT. Ika Utama Transfer Express is a firm which have status as Taxpayer and Entrepreneur Incur the Iease, where for the status of the company have the obligation to impose the tax. One of among other things is Income Tax Section 21. The Company have done the imposition of Income Tax Section 21. Pursuant to the mentioned, writer interested to do the research at PT. Ika Utama Transfer Express with the Title "Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Pada PT. Ika Utama Transfer Express” (“Calculation of Income Tax Section 21 At PT. Ika Utama Transfer Express").

As for intention of this research is to know the record-keeping, enumeration done by PT. Ika Utama Transfer Express of what have according to Taxation Law.

Methodologies used in this script is descriptive method that is how to record-keeping of Income Tax Section 21, enumeration mechanism up to its reporting in Annual Notice Section 21.

The technique of data collecting done by perception (observation) to research object to obtain to get the data needed and interview through question and answer directly with the related parties with the research.

From research result will be able to be concluded by what accountancy treatment for Income Tax Section 21 have as according to taxation regulation. From result test the mean or observation indicate that the accountancy of Income Tax Section 21 applied by a company have adequate with the accounting principles and taxation regulation, although things there are still be uncommitted but the company keep trying to complete it. Company shall be non-stoped to keep abreast of the taxation regulation, so there no mistake caused by minim information to taxation regulation which.



Key word : Income Tax Section 21 Accountancy, Taxation Law.



1. Pendahuluan



Seperti halnya negara lain di dunia, Indonesia disamping menyelenggarakan pemerintahan umum juga melaksanakan pembangunan. Untuk melaksanakan pembangunan tersebut diperlukan dana yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan volume dan dinamika pembangunan itu sendiri. Dalam rangka pemenuhan pembiayaan negara baik untuk belanja rutin maupun pembangunan, sumber penerimaan dalam negeri diluar migas semakin ditingkatkan pencapaiannya melalui penerimaan dari sektor pajak, sekaligus menjaga kemantapan dan kestabilan pendapatan negara.

1

Dari segi ekonomi, pajak merupakan perpindahan sumber daya dari sektor privat ke sektor publik. Bagi sektor publik, pajak akan digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara baik pengeluaran rutin maupun pembangunan, sedangkan bagi sektor privat, pajak dipandang sebagai beban. Perbedaan keadaan ekonomi, budaya dan sejarah suatu negara berdampak kepada pola perpajakan Negara tersebut. Pajak Penghasilan Orang Pribadi umunya sulit dipungut dalam masyarakat yang banyak penduduknya, dikarenakan penyebaran penyebaran penduduk yang tidak merata dan tingkatan penghasilan yang berbeda. Untuk itu diperlukan system perpajakan yang baik guna menghimpun dana dari masyarakat dan untuk itu Departemen Keuangan dalam hal ini Direktorat Pajak melaksanakan sistem perpajakan yaitu With Holding System dimana pihak ketiga diberikan kepercayaan untuk melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak sehubungan dengan imbalan pekerjaan atau jasa atau kegiatan lain yang diterima wajib pajak.

Pajak Penghasilan atas gaji, upah, honorarium, tunjangan, pensiun, kegiatan, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dipungut melalui sistem pemotongan (with holding system) pada saat penghasilan itu dibayarkan. Potongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan terhadap orang pribadi wajib pajak dalam negeri. Pemotongan pajak dilakukan oleh pemberi penghasilan. Dan dalam melaksanakan perhitungan haruslah mengikuti Undang-undang Perpajakan dan segala Peraturan Pemerintah yang berlaku guna menjadi pedoman dalam melaksanakan perhitungan pajak.

Sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, pemungutan pajak di Indonesia harus didasarkan pada Undang-undang Perpajakan yang disusun oleh pemerintah dan disetujui oleh rakyat, dimana petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi melalui Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 dengan mengubah ketentuan Pasal 21 ayat (8) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000.

Jumlah yang dipotong pajak untuk setiap bulan merupakan jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan penghasilan tidak kena pajak, dimana jumlahnya bergantung pada keadaan pribadi penerima penghasilan – kawin dan berapa tanggungannya – pada awal tahun pajak. Beberapa jenis potongan yang dilakukan terhadap gaji, selain pajak penghasilan, juga iuran pensiun dan astek. Potongan itu biasanya dilakukan sekaligus oleh perusahaan dan kemudian disetorkan ke Kas Negara atau tempat lain yang ditunjuk.

Berdasarkan hal diatas, pencatatan pembukuan yang baik dan benar juga diperlukan oleh perusahaan sebagai pemberi kerja dan Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21. Disisi lain, tidak jarang ditemui kekeliruan dalam Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang akan disetor, dimana perubahan status wajib pajak orang pribadi (karyawan perusahaan) tidak dapat diakui dalam Undang-undang Perpajakan, seperti halnya perubahan atas status karyawan atas tanggungannya yang terjadi diluar tahun pajak yang bersangkutan. Mengingat setiap karyawan memiliki jabatan dan jumlah tanggungan yang berbeda memungkinkan terjadinya kesalahan atau kekeliruan dalam melaksanakan perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, sehingga tidak jarang perusahaan harus menanggung denda administrasi perpajakan.



2. Tinjauan Pustaka



2.1. Ketentuan Umum Pajak Penghasilan



2.1.1. Definisi Pajak

Banyak para ahli perpajakan yang mengemukakan pendapat mengenai pegertian pajak, salah satu pakar yang terkenal di Indonesia adalah Rochmat Soemitro yang dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, mengemukakan Pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang-undang ( yang dapat dipaksakan ) dengan tidak mendapat jasa imbalan ( kontraprestasi ) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. P.J.A. Andriani merumuskan pengertian pajak seperti di bawah ini dan dikutip oleh Barata A.A. (2000, hal. 5)Pajak adalah “Iuran kepada negara ( dapat dipaksakan ) yang terhutang oleh wajib pajak membayarnya menurut undang-undang, dengan tiada mendapat prestasi kembali, yang dapat ditunjuk dan gunanya untuk membiayai pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”



2.1.2. Subjek Pajak Penghasilan

Subjek pajak dapat diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang pajak. Entitas sebagai Subjek atau Wajib Pajak menurut ketentuan Pasal 2 Undang-undang Pajak Penghasilan terdapat 4 (empat) kelompok entitas yang merupakan subjek pajak atau wajib pajak untuk Pajak Penghasilan yaitu orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, Badan, terdiri dari PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/ BUMD, Firma, kongsi, koperasi dana pension dan lain sebagainya. Bentuk Usaha Tetap (BUT).



2.1.3. Objek Pajak Penghasilan

Objek Pajak Penghasilan (PPh) adalah penghasilan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima maupun yang diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dalam bentuk apapun, sesuai bunyi pasal 4 Nomor 10 tahun 1994 Jis UU Nomor 17 tahun 2000 menyebutkan bahwa yang termasuk dalam objek pajak adalah penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, penghargaan karena prestasi, laba usaha, keuntungan karena penjualan, penghasilan harta, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengambilan utang, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.



2.2. Pajak Penghasilan 21



2.2.1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan pajak yang dipotong oleh pihak lain atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Bagi pegawai atau orang pribadi yang memperoleh penghsilan lain selain penghsilan yang pajaknya telah dibayar atau dipotong dan bersifat final, pada akhir tahun pajak diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) PPh dan atas PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh pemberi kerja dapat dijadikan sebagai kredit pajak atas Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun.

Perusahaan / pemberi kerja wajib memotong PPh Pasal 21/26 atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatannya, dengan ketentuan: jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak perorangan dalam negeri dikenakan PPh Pasal 21, jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak perorangan luar negeri dikenakan PPh Pasal 26.



2.2.2. Klasifikasi Pajak Penghasilan Pasal 21

Untuk mempermudah dalam menerapkan dasar pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima oleh karyawan, maka penulis mengklasifikasikan dalam 2 (dua) bagian berdasarkan status karyawan, penerapan biaya jabatan, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan objek pajaknya sebagai berikut:

(a) Karyawan yang berhak mendapatkan biaya jabatan atau biaya pensiun dan PTKP (Penghasilan Bruto - Biaya Jabatan - PTKP = Penghasilan Kena Pajak)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), adalah pengurangan penghasilan yang diberikan kepada Wajib Pajak orang pribadi selain dari pengurangan biaya jabatan dan iuran yang terkait dengan gaji, dimana PTKP melekat ke orang pribadi maka PTKP tetap setahun meskipun bekerja sebagai karyawan tetap kurang dari setahun (12 bulan). Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 564/KMK03/2004 Tanggal 29 November 2004 tentang penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, diubah sebagai berikut :

a. Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak,

b. Rp 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin,

c. Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami; Rp 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Namun tahun 2009 ketentuan tersebut telah diperbaharui pada tanggal 23 September 2008 yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, dimana ketentuan Pasal 7 diubah sebagai berikut:

a) Rp 15.840.000,- (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi,

b) Rp 1.320.000,- (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin,

c) Rp 15.840.000,- (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami,

d) Rp 1.320.000,- (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) untuk setiap keluarga.

(b) Karyawan yang berhak mendapat PTKP saja

Karyawan yang berhak mendapat PTKP saja adalah karyawan tidak tetap yang terdiri dari: pegawai harian lepas dengan upah harian,mingguan, satuan, borongan, honorarium dan imbalan, penerima Beasiswa, pemagang dan calon pegawai, penerima komisi atas kegiatan multilevel marketing.

2.2.3. Pengenaan Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21

Tarif pajak merupakan persentase tertentu yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan. Tarif Pajak Penghasilan yang berlaku di Indonesia dikelompokkan menjadi dua yaitu tarif umum dan tarif khusus sesuai Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang nomor 17 Tahun 2000. Sistem penerapan tarif Pajak Penghasilan sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000 untuk tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang berlaku hingga tahun 2008 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, yaitu:

Lapisan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 25.000.000,- 5%

Diatas Rp 25.000.000,- s/d Rp 50.000.000,- 10%

Diatas Rp 50.000.000,- s/d Rp 100.0000.000,- 15%

Diatas Rp 100.000.000,- s/d 200.000.000,- 25%

Diatas Rp 200.000.000,- 35%

Namun pada tanggal 23 September 2008 yang akan mulai diberlakukan pada tahun pajak tahun 2009 yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, dimana Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri adalah sebagai berikut:

Lapisan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 50.000.000,- 5%

Diatas Rp 50.000.000,- s/d Rp 250.000.000,- 15%

Diatas Rp 250.000.000,- s/d Rp 500.0000.000,- 25%

Diatas Rp 500.0000.000,- 30%



2.3. Kerangka Konseptual



Pencatatan penghasilan karyawan dengan baik dan benar akan membuat perhitungan untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 menjadi tepat. Dengan dilaksanakannya pencatatan yang baik dan benar selain dapat memberikan informasi yang akurat juga akan menghindarkan perusahaan dari pengenaan sanki administrasi perpajakan yang berlaku. Untuk itu perusahaan harus melakukan pencatatan dimulai dari pengumpulan bukti status karyawan, pencatatan dan jurnal atas setiap gaji dan upah karyawan sampai dengan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 seperti gambar berikut ini.



































Gambar 2.1. Siklus Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 21



3. Metode Penelitian



Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif karena memberikan fakta dari prosedur atau kejadian yang terjadi dengan tujuan untuk membuat gambaran secara sistematis dan akurat. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menguraikan, menjelaskan, dan menegaskan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perhitungan, pencatatan, dan pembayaran dan pelaporannya dalam SPT Tahunan dan SPT Masa.

Jenis data yang digunakan adalah data primer, yaitu data yang dikumpulkan berupa data yang belum diolah yang diperoleh secara langsung dari responden selaku objek penelitian, dalam hal ini data yang diperoleh yaitu data yang bersifat kualitatif yang berisi hasil wawancara penulis dengan bagian akuntansi perusahaan bagaimana perusahaan melakukan pencatatan gaji dan upah karyawan serta perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21, dan data sekunder merupakan data pelengkap bagi data primer. Data sekunder diperoleh penulis dari buku besar perusahaan dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 perusahaan, dan lain-lain. Penelitian ini dilaksanakan di PT. Ika Utama Transfer Express yang beralamat di Kompleks Setiabudi Point No. A7, Medan.



4. Hasil Penelitian



4.1. Pengusaha Kena Pajak



Pengusaha Kena Pajak adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud daru luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean, serta melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1998 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Dalam hal ini PT. Ika Utama Transfer Express merupakan usaha yang berbentuk badan dan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang diwajibkan untuk melaporkan kegitan usahanya ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku dan diwajibkan membayar kewajiban perpajakan yang terutang atas operasionalnya. Kewajiban perpajakan yang harus dijalankan oleh PT. Ika Utama Transfer Express adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25/29. PPh Pasal 21, Pasal 23, Pasal 25/29 merupakan kewajiban PT. Ika Utama Transfer Express untuk memotong, memungut, menyetor dan melaporkan pajak ke Negara. Dalam hal ini perusahan berkedudukan sebagai pemotong dan / atau pemungut PPh.



4.2. Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21



Perhitungan PPh Pasal 21 pada prinsipnya sama dengan cara penghitungan pajak penghasilan pada umumnya. Namun dalam menghitung PPh Pasal 21 bagi penerima penghasilan tertentu. Selain pengurangan PTKP juga diberikan pengurangan penghasilan berupa biaya jabatan, dimana hal ini diatur dalam Pasal 21 Undang-undang PPh, Pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-545/PJ/2000, bahwa pegawai tetap berhak atas pengurangan berupa biaya jabatan dan PTKP. Data diperoleh dari daftar penghasilan yang diperoleh dari daftar gaji pegawai serta pajak penghasilan dan THR yang diterima oleh pegawai yang bersangkutan. Pajak Penghasilan ditanggung langsung oleh pegawai yang penghasilannya diatas PTKP.

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada PT. Ika Utama Transfer Express adalah sebagai berikut:

Ibu Roshyka Putri sebagai Direktur (2007)

Gaji Jan-Sept : Rp1.050.000,- x 9 bulan = Rp 9.450.000,-

Gaji Okt-Des : Rp1.100.000,- x 3 bulan = Rp 3.300.000,- ( + )

Total gaji setahun = Rp 12.750.000,-

Ditambah:

THR = Rp 1.100.000,- ( + )

Penghasilan bruto setahun = Rp 13.850.000,-

Dikurangi:

- Biaya jabatan atas gaji:

5% x Rp 12.750.000,- = Rp 637.500,-

- Biaya jabatan atas THR:

5% x Rp 1.100.000,- = Rp 55.000,- ( + )

Total biaya jabatan = Rp 692.500,- ( - )

Penghasilan Netto = Rp 13.157.500,-

- Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Setahun:

Dengan status K/0, maka:

Untuk WP sendiri = Rp 13.200.000,-

Dalam hal ini WP tidak dapat dikenakan Penghasilan Kena Pajak (PKP) karena penghasilan nettonya tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Namun pada tahun 2008 terjadi perubahan pada kasus Ibu Roshyka Putri yang menjabat sebagai direktur pada PT. Ika Utama Transfer Express, dimana perhitungannya adalah sebagai berikut:

Gaji Jan-Feb : Rp1.600.000,- x 2 bulan = Rp 3.200.000,-

Gaji Mar-Mei : Rp1.700.000,- x 3 bulan = Rp 5.100.000,-

Gaji Jun-Des : Rp 1.800.000,- x 7 bulan = Rp 12.600.000,- ( + )

Total gaji setahun = Rp 20.900.000,-

Ditambah:

THR = Rp 1.800.000,- ( + )

Penghasilan bruto setahun = Rp 21.565.000,-

Dikurangi:

- Biaya jabatan atas gaji:

5% x Rp 20.900.000,- = Rp 1.045.500,-

- Biaya jabatan atas THR:

5% x Rp 1.800.000,- = Rp 90.000,- ( + )

Total biaya jabatan = Rp 1.135.0000,- ( - )

Penghasilan Netto = Rp 21.565.000,-

- Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Setahun:

Dengan status K/3, maka:

Untuk WP sendiri = Rp 13.200.000,-

Tambahan (3 orang tanggungan):

3 x Rp 1.200.000,- = Rp 3.600.000,- ( + )

Total PTKP (setahun) Rp 16.800.000,- ( + ) PKP Rp 4.765.000,-

PPh Pasal 21 terutang:

5% x Rp 4.765.000,- = Rp 238.250,-

PPh Pasal 21 sebulan : Rp 238.250,- : 12 = Rp 19.854,-



4.3. Mekanisme Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21



Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas karyawan pada PT. Ika Utama Transfer Express adalah: perusahaan membayar gaji karyawan berdasarkan besarnya jumlah gaji yang tertera pada slip gaji setiap bulannya yang berupa total gaji sebulan, menghitung besarnya pajak penghasilan berdasarkan statusnya yaitu sudah kawin atau belum/ tidak kawin dan jugga sudah punya anak/ tanggungan atau belum punya anak untuk membantu proses penetapan Pajak Penghasilan, perhitungan biaya jabatan pada pegawai telah dilakukan sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yaitu sebesar 5% dan maksimum Rp 1.296.000,- , pembayaran Pajak Penghasilan dilakukan setiap bulan tanpa memotong penghasilan karyawan. Dengan kata lain, perusahaan memberikan tunjangan PPh Pasal 21 kepada karyawan, perusahaan menetapkan bahwa perusahaan menggunakan pembayaran pajak dengan cara bulanan yaitu dengan menngunakan SPT Masa, perusahaan dalam menentukan Pajak Penghasilan, menggunakan pembukuan dan hal ini ditandai dengan penggunaan daftar gaji para karyawan.



5. Kesimpulan dan Saran



5.1. Kesimpulan



Setelah penulis melakukan penelitian pada PT. Ika Utama Transfer Express, maka penulis dapat menganalisa dan mengevaluasi mengenai kebijaksanaan yang diterapkan dalam penetapan Pajak Penghasilan Pasal 21 serta mengkaji aspek-aspek yang terkait langsung dalam perhitungan PPh Pasal 21 atas gaji yang diperoleh karyawan. Maka diakhir penulisan ini penulis menarik kesimpulan bahwa dalam melakukan perhitungan PPh Pasal 21 telah dilakukan dengan benar, namun dari sisi administrasi perpajakan dan pada pengenaan pajak penghasilan terhadap direktur perusahaan terdapat kesalahan penerapan penghitungan PPh. Dukungan terhadap kesimpulan ini berdasarkan pada kondisi-kondisi yang dinyatakan dibawah ini:

1. alamat perusahaan hingga saat ini masih menggunakan lokasi kantor yang pertama yaitu di Jalan Kenanga No. 27 yang berada di wilayah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Polonia. Sedangkan perusahaan sudah pindah lokasi di Komplek Setiabudi Point A7 yang merupakan wilayah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat,

2. pada daftar gaji yang dipresentasikan melalui buku besar, penulis menyatakan telah sesuai dengan kebutuhan pencatatan biaya gaji,

3. pada SPT Tahunan 2007 pada bukti potong yang dilampirkan untuk direktur perusahaan tidak dapat dilihat bahwa status direktur perusahaan adalah K/0, sedangkan pada tahun 2008 status berubah menjadi K/3.

Sementara berdasarkan hasil wawancara penulis dengan bagian akuntansi bahwa direktur perusahaan memiliki suami yang bekerja pada perusahaan lain dan perusahaan tempat suaminya tersebut telah memberikan pengurangan penghasilan sesuai dengan statusnya K/. Namun PT. Ika Utama Transfer Express juga melakukan potongan yang sama pada Ibu Roshyka yaitu K/3, sehingga dapat dinyatakan bahwa telah terjadi pengurangan sebanyak dua kali atas tanggungan dalam penghasilan mereka.



5.2. Saran



Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang dikemukakan diatas oleh penulis, penulis mencoba memberikan saran yang mungkin akan berguna bagi perusahaan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai Wajib Pajak, antara lain:

1. sebaiknya perusahaan melakukan Pembetulan untuk SPT Tahunan 2008 dimana telah terjadi kesalahan penerapan pengenaan Pajak Penghasilan pada direktur perusahaan karena ditempat suaminya bekerja ketiga anak mereka telah diakui sebagai tanggungan suami.

2. kepada suami dari Ibu Roshyka sendiri sebaiknya melaporkan ke perusahaan tempatnya bekerja bahwa beliau memiliki istri yang memperoleh penghasilan dari tempat lain agar untuk SPT Tahunan Pasal 21 tahun berikutnya dilakukan perhitungan yang baik dan benar.

Dan sebagai saran tambahan yang diberikan penulis dalam skripsi ini adalah sebaiknya perusahaan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat perusahaan sekarang berlokasi tentang adanya perubahan alamat perusahaan. Hal ini untuk memudahkan penyampaian informasi dari Kantor Pelayanan Pajak ke Wajib Pajak.

Riset Akuntansi (jurnal 10)

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21

Pada PT. Ika Utama Transfer Express



ABSTRACT



Every company need the accounting system to earn the finance data become the accounting information. Accountancy is appliance to submit the information to proper parties, for example stockholder, fiskus and bank. Stockholder need the finance information to take the finance decision. Bank need it for the sake of credit gift, while government need it to draw the tax .

PT. Ika Utama Transfer Express is a firm which have status as Taxpayer and Entrepreneur Incur the Iease, where for the status of the company have the obligation to impose the tax. One of among other things is Income Tax Section 21. The Company have done the imposition of Income Tax Section 21. Pursuant to the mentioned, writer interested to do the research at PT. Ika Utama Transfer Express with the Title "Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Pada PT. Ika Utama Transfer Express” (“Calculation of Income Tax Section 21 At PT. Ika Utama Transfer Express").

As for intention of this research is to know the record-keeping, enumeration done by PT. Ika Utama Transfer Express of what have according to Taxation Law.

Methodologies used in this script is descriptive method that is how to record-keeping of Income Tax Section 21, enumeration mechanism up to its reporting in Annual Notice Section 21.

The technique of data collecting done by perception (observation) to research object to obtain to get the data needed and interview through question and answer directly with the related parties with the research.

From research result will be able to be concluded by what accountancy treatment for Income Tax Section 21 have as according to taxation regulation. From result test the mean or observation indicate that the accountancy of Income Tax Section 21 applied by a company have adequate with the accounting principles and taxation regulation, although things there are still be uncommitted but the company keep trying to complete it. Company shall be non-stoped to keep abreast of the taxation regulation, so there no mistake caused by minim information to taxation regulation which.



Key word : Income Tax Section 21 Accountancy, Taxation Law.



1. Pendahuluan



Seperti halnya negara lain di dunia, Indonesia disamping menyelenggarakan pemerintahan umum juga melaksanakan pembangunan. Untuk melaksanakan pembangunan tersebut diperlukan dana yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan volume dan dinamika pembangunan itu sendiri. Dalam rangka pemenuhan pembiayaan negara baik untuk belanja rutin maupun pembangunan, sumber penerimaan dalam negeri diluar migas semakin ditingkatkan pencapaiannya melalui penerimaan dari sektor pajak, sekaligus menjaga kemantapan dan kestabilan pendapatan negara.

1

Dari segi ekonomi, pajak merupakan perpindahan sumber daya dari sektor privat ke sektor publik. Bagi sektor publik, pajak akan digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara baik pengeluaran rutin maupun pembangunan, sedangkan bagi sektor privat, pajak dipandang sebagai beban. Perbedaan keadaan ekonomi, budaya dan sejarah suatu negara berdampak kepada pola perpajakan Negara tersebut. Pajak Penghasilan Orang Pribadi umunya sulit dipungut dalam masyarakat yang banyak penduduknya, dikarenakan penyebaran penyebaran penduduk yang tidak merata dan tingkatan penghasilan yang berbeda. Untuk itu diperlukan system perpajakan yang baik guna menghimpun dana dari masyarakat dan untuk itu Departemen Keuangan dalam hal ini Direktorat Pajak melaksanakan sistem perpajakan yaitu With Holding System dimana pihak ketiga diberikan kepercayaan untuk melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak sehubungan dengan imbalan pekerjaan atau jasa atau kegiatan lain yang diterima wajib pajak.

Pajak Penghasilan atas gaji, upah, honorarium, tunjangan, pensiun, kegiatan, dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dipungut melalui sistem pemotongan (with holding system) pada saat penghasilan itu dibayarkan. Potongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan terhadap orang pribadi wajib pajak dalam negeri. Pemotongan pajak dilakukan oleh pemberi penghasilan. Dan dalam melaksanakan perhitungan haruslah mengikuti Undang-undang Perpajakan dan segala Peraturan Pemerintah yang berlaku guna menjadi pedoman dalam melaksanakan perhitungan pajak.

Sesuai dengan ketentuan pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, pemungutan pajak di Indonesia harus didasarkan pada Undang-undang Perpajakan yang disusun oleh pemerintah dan disetujui oleh rakyat, dimana petunjuk pelaksanaan pemotongan, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan orang pribadi melalui Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 dengan mengubah ketentuan Pasal 21 ayat (8) Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah diubah terakhir dengan Undang-undang No. 17 Tahun 2000.

Jumlah yang dipotong pajak untuk setiap bulan merupakan jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan penghasilan tidak kena pajak, dimana jumlahnya bergantung pada keadaan pribadi penerima penghasilan – kawin dan berapa tanggungannya – pada awal tahun pajak. Beberapa jenis potongan yang dilakukan terhadap gaji, selain pajak penghasilan, juga iuran pensiun dan astek. Potongan itu biasanya dilakukan sekaligus oleh perusahaan dan kemudian disetorkan ke Kas Negara atau tempat lain yang ditunjuk.

Berdasarkan hal diatas, pencatatan pembukuan yang baik dan benar juga diperlukan oleh perusahaan sebagai pemberi kerja dan Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21. Disisi lain, tidak jarang ditemui kekeliruan dalam Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang akan disetor, dimana perubahan status wajib pajak orang pribadi (karyawan perusahaan) tidak dapat diakui dalam Undang-undang Perpajakan, seperti halnya perubahan atas status karyawan atas tanggungannya yang terjadi diluar tahun pajak yang bersangkutan. Mengingat setiap karyawan memiliki jabatan dan jumlah tanggungan yang berbeda memungkinkan terjadinya kesalahan atau kekeliruan dalam melaksanakan perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, sehingga tidak jarang perusahaan harus menanggung denda administrasi perpajakan.



2. Tinjauan Pustaka



2.1. Ketentuan Umum Pajak Penghasilan



2.1.1. Definisi Pajak

Banyak para ahli perpajakan yang mengemukakan pendapat mengenai pegertian pajak, salah satu pakar yang terkenal di Indonesia adalah Rochmat Soemitro yang dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, mengemukakan Pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang-undang ( yang dapat dipaksakan ) dengan tidak mendapat jasa imbalan ( kontraprestasi ) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. P.J.A. Andriani merumuskan pengertian pajak seperti di bawah ini dan dikutip oleh Barata A.A. (2000, hal. 5)Pajak adalah “Iuran kepada negara ( dapat dipaksakan ) yang terhutang oleh wajib pajak membayarnya menurut undang-undang, dengan tiada mendapat prestasi kembali, yang dapat ditunjuk dan gunanya untuk membiayai pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”



2.1.2. Subjek Pajak Penghasilan

Subjek pajak dapat diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang pajak. Entitas sebagai Subjek atau Wajib Pajak menurut ketentuan Pasal 2 Undang-undang Pajak Penghasilan terdapat 4 (empat) kelompok entitas yang merupakan subjek pajak atau wajib pajak untuk Pajak Penghasilan yaitu orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, Badan, terdiri dari PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/ BUMD, Firma, kongsi, koperasi dana pension dan lain sebagainya. Bentuk Usaha Tetap (BUT).



2.1.3. Objek Pajak Penghasilan

Objek Pajak Penghasilan (PPh) adalah penghasilan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima maupun yang diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dalam bentuk apapun, sesuai bunyi pasal 4 Nomor 10 tahun 1994 Jis UU Nomor 17 tahun 2000 menyebutkan bahwa yang termasuk dalam objek pajak adalah penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, penghargaan karena prestasi, laba usaha, keuntungan karena penjualan, penghasilan harta, bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengambilan utang, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.



2.2. Pajak Penghasilan 21



2.2.1. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan pajak yang dipotong oleh pihak lain atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Bagi pegawai atau orang pribadi yang memperoleh penghsilan lain selain penghsilan yang pajaknya telah dibayar atau dipotong dan bersifat final, pada akhir tahun pajak diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) PPh dan atas PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh pemberi kerja dapat dijadikan sebagai kredit pajak atas Pajak Penghasilan yang terutang pada akhir tahun.

Perusahaan / pemberi kerja wajib memotong PPh Pasal 21/26 atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatannya, dengan ketentuan: jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak perorangan dalam negeri dikenakan PPh Pasal 21, jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak perorangan luar negeri dikenakan PPh Pasal 26.



2.2.2. Klasifikasi Pajak Penghasilan Pasal 21

Untuk mempermudah dalam menerapkan dasar pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima oleh karyawan, maka penulis mengklasifikasikan dalam 2 (dua) bagian berdasarkan status karyawan, penerapan biaya jabatan, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan objek pajaknya sebagai berikut:

(a) Karyawan yang berhak mendapatkan biaya jabatan atau biaya pensiun dan PTKP (Penghasilan Bruto - Biaya Jabatan - PTKP = Penghasilan Kena Pajak)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), adalah pengurangan penghasilan yang diberikan kepada Wajib Pajak orang pribadi selain dari pengurangan biaya jabatan dan iuran yang terkait dengan gaji, dimana PTKP melekat ke orang pribadi maka PTKP tetap setahun meskipun bekerja sebagai karyawan tetap kurang dari setahun (12 bulan). Sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 564/KMK03/2004 Tanggal 29 November 2004 tentang penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, diubah sebagai berikut :

a. Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak,

b. Rp 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin,

c. Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami; Rp 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Namun tahun 2009 ketentuan tersebut telah diperbaharui pada tanggal 23 September 2008 yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, dimana ketentuan Pasal 7 diubah sebagai berikut:

a) Rp 15.840.000,- (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi,

b) Rp 1.320.000,- (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin,

c) Rp 15.840.000,- (lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami,

d) Rp 1.320.000,- (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) untuk setiap keluarga.

(b) Karyawan yang berhak mendapat PTKP saja

Karyawan yang berhak mendapat PTKP saja adalah karyawan tidak tetap yang terdiri dari: pegawai harian lepas dengan upah harian,mingguan, satuan, borongan, honorarium dan imbalan, penerima Beasiswa, pemagang dan calon pegawai, penerima komisi atas kegiatan multilevel marketing.

2.2.3. Pengenaan Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21

Tarif pajak merupakan persentase tertentu yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan. Tarif Pajak Penghasilan yang berlaku di Indonesia dikelompokkan menjadi dua yaitu tarif umum dan tarif khusus sesuai Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang nomor 17 Tahun 2000. Sistem penerapan tarif Pajak Penghasilan sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 17 Tahun 2000 untuk tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang berlaku hingga tahun 2008 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, yaitu:

Lapisan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 25.000.000,- 5%

Diatas Rp 25.000.000,- s/d Rp 50.000.000,- 10%

Diatas Rp 50.000.000,- s/d Rp 100.0000.000,- 15%

Diatas Rp 100.000.000,- s/d 200.000.000,- 25%

Diatas Rp 200.000.000,- 35%

Namun pada tanggal 23 September 2008 yang akan mulai diberlakukan pada tahun pajak tahun 2009 yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, dimana Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri adalah sebagai berikut:

Lapisan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 50.000.000,- 5%

Diatas Rp 50.000.000,- s/d Rp 250.000.000,- 15%

Diatas Rp 250.000.000,- s/d Rp 500.0000.000,- 25%

Diatas Rp 500.0000.000,- 30%



2.3. Kerangka Konseptual



Pencatatan penghasilan karyawan dengan baik dan benar akan membuat perhitungan untuk memotong Pajak Penghasilan Pasal 21 menjadi tepat. Dengan dilaksanakannya pencatatan yang baik dan benar selain dapat memberikan informasi yang akurat juga akan menghindarkan perusahaan dari pengenaan sanki administrasi perpajakan yang berlaku. Untuk itu perusahaan harus melakukan pencatatan dimulai dari pengumpulan bukti status karyawan, pencatatan dan jurnal atas setiap gaji dan upah karyawan sampai dengan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 seperti gambar berikut ini.



































Gambar 2.1. Siklus Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 21



3. Metode Penelitian



Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif karena memberikan fakta dari prosedur atau kejadian yang terjadi dengan tujuan untuk membuat gambaran secara sistematis dan akurat. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk menguraikan, menjelaskan, dan menegaskan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perhitungan, pencatatan, dan pembayaran dan pelaporannya dalam SPT Tahunan dan SPT Masa.

Jenis data yang digunakan adalah data primer, yaitu data yang dikumpulkan berupa data yang belum diolah yang diperoleh secara langsung dari responden selaku objek penelitian, dalam hal ini data yang diperoleh yaitu data yang bersifat kualitatif yang berisi hasil wawancara penulis dengan bagian akuntansi perusahaan bagaimana perusahaan melakukan pencatatan gaji dan upah karyawan serta perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21, dan data sekunder merupakan data pelengkap bagi data primer. Data sekunder diperoleh penulis dari buku besar perusahaan dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 perusahaan, dan lain-lain. Penelitian ini dilaksanakan di PT. Ika Utama Transfer Express yang beralamat di Kompleks Setiabudi Point No. A7, Medan.



4. Hasil Penelitian



4.1. Pengusaha Kena Pajak



Pengusaha Kena Pajak adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud daru luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean, serta melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1998 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Dalam hal ini PT. Ika Utama Transfer Express merupakan usaha yang berbentuk badan dan telah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang diwajibkan untuk melaporkan kegitan usahanya ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku dan diwajibkan membayar kewajiban perpajakan yang terutang atas operasionalnya. Kewajiban perpajakan yang harus dijalankan oleh PT. Ika Utama Transfer Express adalah PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25/29. PPh Pasal 21, Pasal 23, Pasal 25/29 merupakan kewajiban PT. Ika Utama Transfer Express untuk memotong, memungut, menyetor dan melaporkan pajak ke Negara. Dalam hal ini perusahan berkedudukan sebagai pemotong dan / atau pemungut PPh.



4.2. Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21



Perhitungan PPh Pasal 21 pada prinsipnya sama dengan cara penghitungan pajak penghasilan pada umumnya. Namun dalam menghitung PPh Pasal 21 bagi penerima penghasilan tertentu. Selain pengurangan PTKP juga diberikan pengurangan penghasilan berupa biaya jabatan, dimana hal ini diatur dalam Pasal 21 Undang-undang PPh, Pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-545/PJ/2000, bahwa pegawai tetap berhak atas pengurangan berupa biaya jabatan dan PTKP. Data diperoleh dari daftar penghasilan yang diperoleh dari daftar gaji pegawai serta pajak penghasilan dan THR yang diterima oleh pegawai yang bersangkutan. Pajak Penghasilan ditanggung langsung oleh pegawai yang penghasilannya diatas PTKP.

Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 pada PT. Ika Utama Transfer Express adalah sebagai berikut:

Ibu Roshyka Putri sebagai Direktur (2007)

Gaji Jan-Sept : Rp1.050.000,- x 9 bulan = Rp 9.450.000,-

Gaji Okt-Des : Rp1.100.000,- x 3 bulan = Rp 3.300.000,- ( + )

Total gaji setahun = Rp 12.750.000,-

Ditambah:

THR = Rp 1.100.000,- ( + )

Penghasilan bruto setahun = Rp 13.850.000,-

Dikurangi:

- Biaya jabatan atas gaji:

5% x Rp 12.750.000,- = Rp 637.500,-

- Biaya jabatan atas THR:

5% x Rp 1.100.000,- = Rp 55.000,- ( + )

Total biaya jabatan = Rp 692.500,- ( - )

Penghasilan Netto = Rp 13.157.500,-

- Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Setahun:

Dengan status K/0, maka:

Untuk WP sendiri = Rp 13.200.000,-

Dalam hal ini WP tidak dapat dikenakan Penghasilan Kena Pajak (PKP) karena penghasilan nettonya tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Namun pada tahun 2008 terjadi perubahan pada kasus Ibu Roshyka Putri yang menjabat sebagai direktur pada PT. Ika Utama Transfer Express, dimana perhitungannya adalah sebagai berikut:

Gaji Jan-Feb : Rp1.600.000,- x 2 bulan = Rp 3.200.000,-

Gaji Mar-Mei : Rp1.700.000,- x 3 bulan = Rp 5.100.000,-

Gaji Jun-Des : Rp 1.800.000,- x 7 bulan = Rp 12.600.000,- ( + )

Total gaji setahun = Rp 20.900.000,-

Ditambah:

THR = Rp 1.800.000,- ( + )

Penghasilan bruto setahun = Rp 21.565.000,-

Dikurangi:

- Biaya jabatan atas gaji:

5% x Rp 20.900.000,- = Rp 1.045.500,-

- Biaya jabatan atas THR:

5% x Rp 1.800.000,- = Rp 90.000,- ( + )

Total biaya jabatan = Rp 1.135.0000,- ( - )

Penghasilan Netto = Rp 21.565.000,-

- Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Setahun:

Dengan status K/3, maka:

Untuk WP sendiri = Rp 13.200.000,-

Tambahan (3 orang tanggungan):

3 x Rp 1.200.000,- = Rp 3.600.000,- ( + )

Total PTKP (setahun) Rp 16.800.000,- ( + ) PKP Rp 4.765.000,-

PPh Pasal 21 terutang:

5% x Rp 4.765.000,- = Rp 238.250,-

PPh Pasal 21 sebulan : Rp 238.250,- : 12 = Rp 19.854,-



4.3. Mekanisme Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21



Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas karyawan pada PT. Ika Utama Transfer Express adalah: perusahaan membayar gaji karyawan berdasarkan besarnya jumlah gaji yang tertera pada slip gaji setiap bulannya yang berupa total gaji sebulan, menghitung besarnya pajak penghasilan berdasarkan statusnya yaitu sudah kawin atau belum/ tidak kawin dan jugga sudah punya anak/ tanggungan atau belum punya anak untuk membantu proses penetapan Pajak Penghasilan, perhitungan biaya jabatan pada pegawai telah dilakukan sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yaitu sebesar 5% dan maksimum Rp 1.296.000,- , pembayaran Pajak Penghasilan dilakukan setiap bulan tanpa memotong penghasilan karyawan. Dengan kata lain, perusahaan memberikan tunjangan PPh Pasal 21 kepada karyawan, perusahaan menetapkan bahwa perusahaan menggunakan pembayaran pajak dengan cara bulanan yaitu dengan menngunakan SPT Masa, perusahaan dalam menentukan Pajak Penghasilan, menggunakan pembukuan dan hal ini ditandai dengan penggunaan daftar gaji para karyawan.



5. Kesimpulan dan Saran



5.1. Kesimpulan



Setelah penulis melakukan penelitian pada PT. Ika Utama Transfer Express, maka penulis dapat menganalisa dan mengevaluasi mengenai kebijaksanaan yang diterapkan dalam penetapan Pajak Penghasilan Pasal 21 serta mengkaji aspek-aspek yang terkait langsung dalam perhitungan PPh Pasal 21 atas gaji yang diperoleh karyawan. Maka diakhir penulisan ini penulis menarik kesimpulan bahwa dalam melakukan perhitungan PPh Pasal 21 telah dilakukan dengan benar, namun dari sisi administrasi perpajakan dan pada pengenaan pajak penghasilan terhadap direktur perusahaan terdapat kesalahan penerapan penghitungan PPh. Dukungan terhadap kesimpulan ini berdasarkan pada kondisi-kondisi yang dinyatakan dibawah ini:

1. alamat perusahaan hingga saat ini masih menggunakan lokasi kantor yang pertama yaitu di Jalan Kenanga No. 27 yang berada di wilayah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Polonia. Sedangkan perusahaan sudah pindah lokasi di Komplek Setiabudi Point A7 yang merupakan wilayah Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Barat,

2. pada daftar gaji yang dipresentasikan melalui buku besar, penulis menyatakan telah sesuai dengan kebutuhan pencatatan biaya gaji,

3. pada SPT Tahunan 2007 pada bukti potong yang dilampirkan untuk direktur perusahaan tidak dapat dilihat bahwa status direktur perusahaan adalah K/0, sedangkan pada tahun 2008 status berubah menjadi K/3.

Sementara berdasarkan hasil wawancara penulis dengan bagian akuntansi bahwa direktur perusahaan memiliki suami yang bekerja pada perusahaan lain dan perusahaan tempat suaminya tersebut telah memberikan pengurangan penghasilan sesuai dengan statusnya K/. Namun PT. Ika Utama Transfer Express juga melakukan potongan yang sama pada Ibu Roshyka yaitu K/3, sehingga dapat dinyatakan bahwa telah terjadi pengurangan sebanyak dua kali atas tanggungan dalam penghasilan mereka.



5.2. Saran



Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang dikemukakan diatas oleh penulis, penulis mencoba memberikan saran yang mungkin akan berguna bagi perusahaan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai Wajib Pajak, antara lain:

1. sebaiknya perusahaan melakukan Pembetulan untuk SPT Tahunan 2008 dimana telah terjadi kesalahan penerapan pengenaan Pajak Penghasilan pada direktur perusahaan karena ditempat suaminya bekerja ketiga anak mereka telah diakui sebagai tanggungan suami.

2. kepada suami dari Ibu Roshyka sendiri sebaiknya melaporkan ke perusahaan tempatnya bekerja bahwa beliau memiliki istri yang memperoleh penghasilan dari tempat lain agar untuk SPT Tahunan Pasal 21 tahun berikutnya dilakukan perhitungan yang baik dan benar.

Dan sebagai saran tambahan yang diberikan penulis dalam skripsi ini adalah sebaiknya perusahaan melaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat perusahaan sekarang berlokasi tentang adanya perubahan alamat perusahaan. Hal ini untuk memudahkan penyampaian informasi dari Kantor Pelayanan Pajak ke Wajib Pajak.

Riset Akuntansi (jurnal 9)

Pengaruh Tingkat Pendidikan, Pengalaman Bekerja, Kecakapan Profesional, Independensi Pemeriksa Terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan (Studi Empiris : Badan Pengawas Daerah Kabupaten Karo)

Abstract


The purpose of this research was to show the effect of Education Grade, Continuing Education, and Independency of Auditor to the Quality of the Inspection’s Result (Empiric study : Badan Pengawasan Daerah in Karo’s Regency).

Independent variables in this study were Education Grade, working Experience, Skilfull Professionalism and Independency of Auditor. Dependent variable in this study was Quality of the Inspection’s Result. The data in this study was the primary data that has obtained from the spreading questionnair directly to all of responden. The population and samples that used in this research were the staf of Badan Pengawasan Daerah in Karo’s Regency. The method of research were descriptive analysis, validity and reliability test, multiple regression analysis with identification test. The analyzing method used statistic method with SPSS 12.

The result of research showed that Education Grade, working experience, skillful professionalism and Independency of Auditor were simultaneous affected significantly to the Quality of the Inspection’s Result at Badan Pengawasan Daerah in Karo’s Regency. However, partially, Education Grade, Working Experience and Independency Of auditor didn’t affect significantly to the Quality of the Inspection’s Result at Badan Pengawasan Daerah in Karo’s Regency. Skillful Professionalism dominant affected significantly to the Quality of the Inspection’s Result at Badan Pengawasan Daerah in Karo’s Regency.



Keywords : Education Grade, Working Experience, Skillful Professionalism Independency of Auditor, Quality of the Inspection’s Result.



1. Pendahuluan



Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah: “Otonomi daerah adalah hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hal ini tentunya membawa perubahan juga terhadap pengelolaan keuangan (fiskal) negara sehubungan dengan penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah mengatur sendiri mengenai pengelolaan keuangan daerahnya.

Dengan adanya otonomi daerah maka praktis bentuk dan struktur pemerintah daerah diseluruh Indonesia adalah sama termasuk lembaga pengawasan fungsional di propinsi Indonesia disebut dengan inspektorat wilayah provinsi yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun1991. Inspektorat Wilayah Propinsi adalah aparat pengawasan fungsional yang taktis operasional berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 dan Teknis Administratif dibawah Menteri dalam Negeri. Lembaga pengawasan fungsional berguna untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara yang bertujuan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik.

Kurang tegas perbedaan unsur perencana, pelaksana, dan pengawas di daerah dimana Bawasda tersebut sebagai lembaga teknis sama dengan badan lainnya seperti badan Diklat, Bappeda, padahal Bawasda adalah lembaga pengawas terhadap lembaga teknis, pelaksana, dan perencana. Berdasarkan PP 84 Tahun 1999 dan PP 8 Tahun 2003 tentang struktur organisasi pemerintah menempatkan Bawasda pada posisi kurang Independen terhadap hasil pemeriksaannya. Hal ini disebabkan karena Bawasda dalam melaporkan hasil pengawasannya kepada Bupati harus melalui sekretariat daerah, padahal sekretariat daerah adalah objek pemeriksaan Bawasda. Kondisi seperti ini memberikan peluang mengintervensi hasil pengawasan dan pemeriksaan, hal ini juga tidak sesuai dengan prinsip prinsip Akuntansi.

Tujuan penulis melakukan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan, pengalaman bekerja, kecakapan profesional dan independensi pemeriksa secara terpisah maupun terpadu terhadap kualitas hasil pemeriksaan. Penulis tertarik untuk memilih judul “Pengaruh Tingkat Pendidikan, Pengalaman Bekerja, Kecakapan Profesional, Independensi Pemeriksa Terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan” karena meilihat pentingnya pengaruh tingkat pendidikan, pengalaman bekerja kecakapan professional dan independensi pemeriksa terhadap hasil pemeriksaan badan pengawas daerah suatu daerah demi terciptanya suatu laporan yang akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan.



2. Tinjauan Pustaka

2.1 Tingkat Pendidikan

Pemeriksa dituntut harus memiliki wawasan yang luas dan mendalam atas segala kegiatan yang akan diperiksanya. Namun pada kenyataannya sebagian besar dari pemeriksa pada badan pengawas daerah masih belum memiliki kompetensi untuk melakukan pemeriksaan, hal ini mengakibatkan pemeriksaan yang dilakukan badan pengawas tidak efektif dan efisien. Salah satu penyebab utamanya adalah tingkat pendidikan yang tidak merata dan beraneka ragam latar belakang jurusan pendidikan.



2.2 Pengalaman Bekerja

Pengalaman audit adalah pengalaman auditor dalam melakukan audit laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu maupun banyaknya penugasan yang pernah ditangani, semakin banyak pengalaman auditor semakin dapat menghasilkan berbagai macam dugaan dalam menjelaskan temuan audit. Akuntan pemeriksa yang berpengalaman akan membuat judgment yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesional ketimbang akuntan pemeriksa yang belum berpengalaman, dan mampu mengidentifikasi secara lebih baik mengenai kesalahan-kesalahan dalam telaah analitik .Pengetahuan auditor tentang audit akan semakin berkembang dengan bertambahnya pengalaman bekerja



2.3 Kecakapan Profesional

Dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No 01 Tahun 2007 tentang standar pemeriksaan keuangan dinyatakan “Pemeriksa secara kolektif harus memiliki kecakapan professional yang memadai untuk melakukan tugas pemeriksaan”. Dengan pernyataan ini semua organisasi pemeriksa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap pemeriksaan dilaksanakan oleh para pemeriksa yang secara kolektif memiliki pengetahuan, keahlian dan pengalaman yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut.

Kecakapan profesional adalah kemampuan dan keahlian spesifik pada bidang-bidang tertentu yang telah dipilih seseorang. Kecakapan tidak cukup hanya “mampu mengerjakan” tetapi juga memiliki kemampuan “memecahkan masalah” (trouble shooting) di bidangnya tersebut. Hal ini memungkinkan auditor untuk dengan cepat dan cekatan mengembangkan dan memperagakan pengetahuan kerja yang baru dan berbeda dalam kaitannya dengan persoalan, orang-orang dan situasi kerja.



2.4 Independensi Pemeriksa

Dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia No 01 Tahun 2007 tentang standar pemeriksaan keuangan dinyatakan bahwa “Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan,organisasi pemeriksa dan pemeriksa harus bebas dalam sikap mental dan penampilan pribadi dari gangguan pribadi, ekstern dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya”.

Pemeriksa perlu menghindar dari situasi yang menyebabkan pihak ketiga yang menetahui fakta dan keadaan yang relevan menyimpulkan bahwa pemeriksa tidak dapat mempertahankan independensinya sehingga tidak mampu memberikan penilaian yang objektif dan tidak memihak terhadap semua hal yang terkait dalam pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan.



2.5 Kualitas Hasil Pemeriksaan

Dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, dijelaskan tentang Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang merupakan bagian dari kualitas hasil pemeriksaan.

Laporan Hasil Pemeriksaan yang memuat adanya kelemahan dalam pengendalian intern, kecurangan, penyimpangan dari ketentuan dalam pengendalian peraturan perundang-undangan, dan ketidakpatutan, harus dilengkapi tanggapan dari pimpinan atau pejabat yang bertanggung jawab pada entitas yang diperiksa mengenai temuan dan rekomendasi serta tindakan koreksi yang direncanakan.



Pelaksanaan pemeriksaan yang didasarkan pada Standar Pemeriksaan akan meningkatkan kredibilitas informasi yang dilaporkan atau diperoleh dari entitas yang diperiksa melalui pengumpulan dan pengujian bukti secara obyektif. Apabila pemeriksa melaksanakan pemeriksaan dengan cara ini dan melaporkan hasilnya sesuai dengan Standar Pemeriksaan maka hasil pemeriksaan tersebut akan dapat mendukung peningkatan mutu pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara serta pengambilan keputusan Penyelenggara Negara.



2.6 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian Surbakti Karo-Karo (2006) menyimpulkan bahwa kompetensi Anggota Badan Pengawas mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap Laporan Badan Pengawas. Variabel Latar Belakang Pendidikan mempunyai nilai paling tinggi. Variabel Pengalaman mempunyai nilai paling rendah.

Hasil penelitian Rizal Iskandar Batubara (2008) menyimpulkan bahwa latar Belakang Pendidikan, Kecakapan Profesional, Pendidikan Berkelanjutan, dan Independensi Pemeriksa secara simultan mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan. Variabel Independensi Pemeriksa mempunyai nilai paling tinggi. Variabel Latar Belakang Pendidikan secara parsial tidak mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan.



2.7 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan sintesis dari tinjauan teoritis yang mencerminkan keterkaitan antar variable yang diteliti dan merupakan tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian.

Kualitas hasil pemeriksaan suatu laporan keuangan dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain adalah :

Tingkat Pendidikan : tingkat pendidikan merupakan tingkat atau strata pendidikan serta jurusan pendidikan yang dimiliki oleh staf Badan Pengawas Daerah Kabupaten Karo, semakin terfokusnya tingkat pendidikan seorang pemeriksa pada bidang pemeriksaan tentu kualitas hasil semakin baik. Tingkat Pendidikan berdasarkan penelitian sebelumnya berpengaruh positif terhadap Kualitas hasil pemeriksaan. Namun pada penelitian ini memeiliki pengaruh negative.

Pengalaman Bekerja : merupakan pengalaman yang dimiliki staf Badan Pengawas Daerah Karo dalam melakukan pemeriksaan, semakin lama seorang staf bertugas sebagai badan pengawas akan menambah keahlian dalam menghadapi masalah masalah yang terjadi saat melakukan pemeriksaan, dimana hal inin jugaakan mempengaruhi kualitas hasil pemeriksaan dari suatu laporan. Pada penelitian sebelumnya pengalaman bekerja memiliki pengaruh positif terhadap Kualitas hasil pemeriksaan.

Kecakapan Profesional : dilihat dari pengetahuan dan keahlian staf Badan Pengawas Daerah Karo. Dimana pemeriksa yang ditugaskan untuk melaksanakan pemeriksaan keuangan secara kolektif harus memiliki keahlian yang dibutuhkan serta memiliki sertifikasi keahlian yang diterima umum, semakin cakap seorang pemeriksa pada bidang pemeriksaan maka kualitas hasil pemeriksaan akan semakion baik.

Independensi Pemeriksa : pemeriksa bebas dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi sehingga kualitas hasil pemeriksaan juga independen dan lebih baik.

Kualitas Hasil Pemeriksaan : indikatornya adalah Program Kerja Pemeriksaan (PKP), Temuan, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), ekspose hasil pemeriksaan, dan tindak lanjut.

Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat digambarkan kerangka konseptual sebagai berikut.









































































3. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah statistik deskriptif kausal yaitu desain penelitian yang meneliti suatu objek penelitian dengan tujuan untuk memberikan informasi mengenai karakteristik variabel penelitian yang utama dan data demografi responden jika ada. Desain ini berguna untuk menganalisis hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya atau bagaimana suatu variabel mempengaruhi variabel lainnya. Data yang igunakan penulis dalam menyusun adalah data primer dan data sekunder. Data Primer adalah data atau informasi yang berkaitan dengan penelitian ini dan diperoleh secara langsung tanpa melalui perantara dari sumber asli/ utama untuk menjawab pertanyaan penelitian, yang kemudian dikembangkan dengan pemahaman sendiri oleh penulis di dalam mengambil kesimpulan. Misalnya adalah kuesioner dan wawancara dengan pihak entitas yang berkaitan yaitu staf pada Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Karo, data Sekunder adalah data yang sudah diolah dan telah menjadi dokumentasi yang bersumber dari entitas pemerintahan ataupun dari sumber-sumber lainnya, misalnya: sejarah singkat Pemerintah Daerah Kabupaten Karo, gambaran umum Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Karo,

4. Analisis Hasil Penelitian

Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Karo adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Karo Nomor 19 Tahun 2008 yang merupakan Unsur Penunjang Pemerintah Daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Bupati melalui pembinaan Sekretaris Daerah. Badan Pengawasan Daerah mempunyai tugas untuk membantu Bupati di dalam pengawasan terhadap pelaksanaan urusan Pemerintahan di Daerah Kabupaten, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pelaksanaan urusan Pemerintahan Desa. Badan Pengawasan Daerah terdiri dari bagian Tata Usaha, Bidang Pemerintahan, Bidang Pembangunan. Bidang Keuangan dan Kekayaan, dan Kelompok Jabatan Fungsional.

Sebelum melakukan pengujian data dan pengujian hipotesis, terlebih dahulu dilakukan pengujian atas kualitas data untuk menjamin bahwa data yang diperoleh sudah dapat digunakan dalam penarikan kesimpulan. Pengujian ini secara umum diarahkan untuk menguji alat ukur yang digunakan (kuesioner) serta data yang diperoleh dari responden. Kuesioner yang diajukan kepada responden berisikan 17 butir pertanyaan yang digunakan untuk mengukur 5 buah variabel penelitian.



4.1 Uji Asumsi Klasik

Metode analisi dara yang dipergunakan adalah metode analisis regresi berganda dengan bantuan software SPSS for windows. Penggunaan metode analisis regresi dalam pengujian hipotesis terlebih dahulu di uji apakah model tersebut memenuhi asumsi klasik atau tidak.

4.1.1 Uji Normalitas

Pengujian Normalitas dilakukan dengan menggunakan pengujian Kolmogorov-Smirnov. Pengujian dengan metode ini menyatakan jika nilai Kolmogorov-Smirnov memiliki probabilitas lebih besar dari 0,05 (Santoso, 2005), maka variabel penelitian tersebut dinyatakan berdistribusi normal. Bedasarkan hasil uji statistic dapat disimpulkan berdistribusi normal, nilai Asymp.sig (2-tailed) pada variable tingkat pendidikan adalah 0.424, variable pengalaman bekerja adalah 0,127, variable kecakapan professional adalah 0.88, independensi pemeriksa adalah 0.838, sedangkan variable kualitas hasil pemeriksaan memiliki nilai 0.128. Semua variable memiliki nilai > 0.05 sehingga berdistribusi normal.



4.1.2 Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas dapat timbul jika variabel bebas saling berkorelasi satu sama lain, sehingga multikolinearitas hanya dapat terjadi pada regresi berganda. Hal ini mengakibatkan perubahan tanda koefisien regresi serta mengakibatkan fluktuasi yang besar pada hasil regresi. Deteksi dapatdilakukan dengan cara melihat nilai Variance Inflation factor dan toleransi. Seluruh variable independen memiliki nilai VIF < 10 dan nilai tolerance lebih besar dari 0.1. variable tingkat pendidikan memiliki nilai tolerance 0.885, sedangkan nilai VIF nya 1.131, variable pengalaman bekerja memiliki nilai tolerance 0,576, sedangkan nilai VIF nya 1,737, variable kecakapan profesional memiliki nilai tolerance 0.678, sedangkan nilai VIF nya 1.474, sedangkan variable kualitas hasil pemeriksaan memiliki nilai tolerance 0.838, sedangkan nilai VIF nya 1.193, semua variable memenuhi syarat sehingga gejala autokorelasi tidak terjadi pada penelitian ini.

4.1.3 Uji heteroskedastisitas

Uji ini dilakukan untuk melihat apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual pengamatan satu ke pengamatan yang lain. Setelah diuji dengan grafik scatterplot dapat dilihat bahwa tidak ada pola yang jelas dan titik titik yang menyebar diatas dan dibawah 0 pada sumbu Y, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi ini.







4.2 Pengujian Hipotesis

Dari hasil uji ANOVAatau F-test diperoleh F hitung sebesar 4.422 dan nilai signifikansi 0.007. Nilai F table pada alpha 0.05 dengan pembilang 5 dan penyebut 31 adalah 2.74259, dengan demikian nilai F hitung > F table maka dapat disimpulkan bahwa secara simultan (bersama-sama) antara Tingkat Pendidikan, Pengalaman Bekerja, Kecakapan Profesional dan Independensi Pemeriksa berpengaruh terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan, dari hasil uji t diperoleh persamaan regresi berganda sebagai berikut

Y = 5.466 – 0,516 X1 + 0,163 X2 + 0,215X3 + 0,705 X4 + e

Setelah uji t dilakukan maka dapat diketahui pengaruh dari masing masing variable independen terhadap variable dependen

a. Nilai t hitung variable tingkat pendidikan -1.415 dengan nilai signifikansi 0.169 sedangkan t table menunjukkan 2.05529 sehingga dapat disimpulkan bahwa t table > t hitung yang artinya Tingkat Pendidikan secara parsial tidak mempengaruhi signifikan terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan.

b. Nilai t hitung variable Pengalaman Bekerja 0,191 dengan nilai signifikansi 0.850 sedangkan t table menunjukkan 2.055529 sehingga dapat disimpulkan bahwa t table > t hitung yang artinya Pengalaman Bekerja secara parsial tidak mempengaruhi signifikan terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan.

c. Nilai t hitung variable Kecakapan Profesional 0.497 dengan nilai signifikansi 0,623 sedangkan t table menunjukkan 2.05529 sehingga dapat disimpulkan bahwa t table > t hitung yang artinya Kecakapan Profesional secara parsial tidak mempengaruhi signifikan terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan.

d. Nilai t hitung variable Independensi Pemeriksa 3.244 dengan nilai signifikansi 0.03 sedangkan t table menunjukkan 2.05529 sehingga dapat disimpulkan bahwa t hitung > t table yang artinya Independensi Pemeriksa secara parsial berpengaruh signifikan terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan.



4.2 Pembahasan Hasil Penelitian

Dari hasil pengujian secara individual (parsial), diketahui bahwa variabel Tingkat Pendidikan, Pengalaman Bekerja, Kecakapan Profesional tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan. Sedangkan variabel Independensi Pemeriksa memiliki pengaruh signifikan terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan (sign.0,007<0,05). Sedangkan nilai R Square 0,406 mengindikasikan bahwa Kualitas Hasil Pemeriksaan mampu dijelaskan oleh Tingkat Pendidikan, Pengalaman Bekerja, Kecakapan Profesional dan Independensi Pemeriksa sebesar 40,6% sedangkan selebihnya sebesar 59,4% dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain. Secara parsial, hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rizal Iskandar Batubara (2008) yang menyatakan bahwa secara parsial, variabel Kecakapan Profesional, Pendidikan Berkelanjutan, dan Independensi Pemeriksa berpengaruh secara signifikan terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan dengan tingkat kepercayaan 95% dan untuk Latar Belakang Pendidikan tidak berpengaruh secara parsial terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan. Tingkat Pendidikan (X1) memiliki hasil regresi yang menjelaskan bahwa variabel independen Tingkat Pendidikan mempunyai pengaruh negatif terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan, artinya setiap kenaikan Tingkat Pendidikan tidak mempengaruhi secara signifikan Kualitas Hasil Pemeriksaan. Pengalaman Bekerja (X2) memiliki hasil regresi yang menjelaskan bahwa variabel independen Pengalaman Bekerja mempunyai pengaruh positif terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan, akan tetapi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan karena nilai t hitung < t tabel (0.191 < 2,055529) yang artinya H0 diterima Kecakapan Profesional (X3) memiliki hasil regresi yang menjelaskan bahwa variabel independen Kecakapan Profesional mempunyai pengaruh positif terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan, akan tetapi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan karena nilai t hitung < t tabel (0.497 < 2,055529) yang artinya H0 diterima. Independensi Pemeriksa (X4) memiliki hasil regresi yang menjelaskan bahwa variabel independen Independensi Pemeriksa mempunyai pengaruh positif terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan, artinya setiap kenaikan Tingkat Pendidikan turut meningkatkan Kualitas Hasil Pemeriksaan.



5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Hasil pengujian secara bersama-sama (simultan) menunjukkan bahwa variabel Tingkat Pendidikan (X1), Pengalaman Bekerja (X2), Kecakapan Profesional (X3) dan Independensi Pemeriksa (X4) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan (Y) pada Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Karo. Hal ini menunjukkan bahwa Kualitas Hasil Pemeriksaan pada Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Karo dipengaruhi oleh Tingkat Pendidikan, Pengalaman Bekerja, Kecakapan Profesional dan Independensi Pemeriksa.

2. Hasil pengujian secara satu persatu (parsial) menunjukkan bahwa variabel Kecakapan Profesional (X3) secara signifikan mempengaruhi Kualitas Hasil Pemeriksaan. Sedangkan variabel Tingkat Pendidikan (X1), Pengalaman Bekerja (X2) dan Independensi Pemeriksa (X4) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Kualitas Hasil Pemeriksaan.

3. Variabel Kecakapan Profesioanal (X3) merupakan variabel yang paling berpengaruh secara dominan dalam Kualitas Hasil Pemeriksaan pada Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Karo.



5.2 Saran



Adapun saran yang diberikan penulis bagi Badan Pengawas Daerah Kabupaten Karo adalah:

1. Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Karo beserta instansi terkait perlu memberikan pelatihan (training) yang berhubungan secara langsung dengan pemeriksaan termasuk teknologi-teknologi pemeriksaan terbaru untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan. Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Karo juga perlu menyelenggarakan pendidikan berkelanjutan bagi staf Badan Pengawasan Daerah Kabupaten Karo untuk mengatasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memadai.

2. Bagi peneliti selanjutnya, perlu untuk memperbanyak item untuk menilai variabel agar diperoleh gambaran yang lebih optimal dan menambah sampel seperti Bawasda atau Bawasko dari kabupaten atau kota lain.

3. Kategori responden yang digunakan juga sebaiknya ditambah, bukan hanya pemeriksa atau auditor, tetapi juga yang diperiksa (auditee) sehingga pengambilan kesimpulan dapat dilakukan dengan lebih baik.

4. Variabel lain yang kemungkinan memberikan pengaruh pada Kualitas Hasil Pemeriksaan sebaiknya ditambahkan ke dalam model penelitian, seperti: loyalitas, kecukupan waktu, Program Kerja Pemeriksaan (PKP), dan lain-lain.

Riset Akuntansi (Jurnal 8)

ANGGARAN MATERIAL SEBAGAI ALAT PENGENDALIAN BIAYA

PADA PT. NINDYA KARYA (PERSERO) CABANG MEDAN



Abstract

To be able to reach the target of company namely get maximum profit hence company planning and control of expence specially teh expense of material. In expense of determination material and valuation of expense of which is accurate to be required for a project The Royal Residene Apartement.

This research use descriptive method namely elaborate and explain about material budget as a means of financial control. Data which used in this research consist of primary data and data of sekunder. Primary data in the foem of result of documentation and interview. Data of sekunder in the form of brief history company, organization chart, and material budget data and its realization.

Result of this research show material budget PT. Nindya Karya (Persero) Cabang Medan have been compiled pursuant to estimate of expense going into effect marketing. So that planning ang control of expense have to remain to be as according to procedure compilation of material budget utilize to improve efisisensi expense.



Keyword : Budgeting, Material cost, Controller, and Variances



1. Pendahuluan

Suatu proyek atau juga pengerjaan proyek ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencapai laba yang maksimal. Seperti berapa banyak yang perlu dihabiskan dalam pengerjaan suatu proyek. Berapa tenaga kerja yang harus diperlukan untuk menyelesaikan proyek tersebut dan biaya-biaya lain yang secara tidak langsung dikeluarkan dalam suatu pengerjaan proyek tersebut.

Material merupakan suatu bahan yang menjadi peranan utama dalam menyelesaikan suatu pengerjaan proyek. Sebelum seorang kontraktor mengambil suatu proyek sebaiknya menganalisa terlebih dahulu biaya-biaya yang akan dikeluarkan dan mengestimasi seberapa banyak material yang akan dipakai sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan meramalkan laba yang akan dicapai. Suatu pengerjaan proyek, material merupakan bahan yang paling mudah diselewengkan baik dalam penentuan kualitas maupun kuantitasnya.

Sebelum proyek dikerjakan hendaknya kontraktor membuat estimasi. Seberapa banyak material yang dibutuhkan dan baiknya untuk estimasi ini dibuat dalam bentuk anggaran sehingga mempermudah dalam membuat perbandingan anggaran yang dibuat dengan realisasinya dan juga mempermudah dalam menghitung seberapa besar selisih (varians) yang akan timbul dari biaya yang dianggarkan dengan realisasinya. Anggaran juga bisa dijadikan bahan panduan terhadap proyek yang akan datang.

Informasi biaya yang sistematis dan komparatif diperlukan oleh pihak manajemen dalam pengelolaan perusahaannya. Hal ini menjadikan akuntansi semakin memegang peranan penting bagi manajemen untuk perencanaan dan pengendalian biaya serta analisis atas varians-varians yang terjadi. Varians yang ditimbulkan dari material dalam pengerjaan suatu proyek dapat mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektvitas. Varians ini bisa saja varians yang menguntungkan (favorable variance) atau varians yang tidak menguntungkan (unfovarable variance) dan variance ini akan mempengaruhi tingkat laba yang akan dicapai perusahaan.

Pengendalian dilakukan agar terdapat jaminan yang memadai atas keamanan material sehingga perusahaan perlu melakukan suatu sistem pengendalian yang meliputi pengendalian fisik dan akuntansi. Pada pengendalian fisik lebih diutamakan pada kualitas material dan penyimpanannya dan pengendalian akuntansi adalah dilaksanakan melalui sistem pengendalian dengan cara membandingkan kuantitas material yang ada dengan catatan manajemen. Dunia konstruksi dewasa ini, dimana pengembangan proyek semakin maju dengan berbagai peralatan yang modern, maka pengelolaan biaya-biaya untuk mendanai suatu proyek harus akurat sehingga penyimpangan-penyimpangan dapat lebih efisien. Dari kenyataan-kenyataan ini akuntansi biaya semakin memegang peranan penting sebagai bagian dari informasi pengambilan keputusan.



2. Telaah Literatur



2.1 Pengertian dan Jenis Anggaran



Pengertian anggaran menurut Nafarin (2007:11)

Anggaran adalah suatu rencana kuantitatif (satuan jumlah) periodik yang disusun berdasarkan program yang telah disahkan. Anggaran (budget) merupakan rencana tertulis mengenai kegiatan suatu organisasi yang dinyatakan secara kuantitatif untuk jangka waktu tertentu dan umumnya dinyatakan dalam satuan uang, tetapi dapat juga dinyatakan dalam satuan barang/jasa.



Nafarin (2007:31) mengelompokkan anggaran dari beberapa sudut pandang.

1. Menurut dasar penyusunan, anggaran terdiri dari anggaran variabel dan anggaran tetap.

a. Anggaran variabel (variable budget) adalah anggaran yang disusun berdasarkan interval (kisaran) kapasitas (aktivitas) tertentu dan pada intinya merupakan suatu seri anggaran yang dapat disesuaikan pada tingkat aktivitas (kegiatan) yang berbeda.

b. Anggaran tetap (fixed budget) adalah anggaran yang disusun berdasarkan suatu tingkat kapasitas tertentu.

2. Menurut cara penyusunan, anggaran terdiri dari anggaran periodik dan anggaran Kontinu.

a. Anggaran periodik (periodic budget) adalah anggaran yang disusun untuk satu periode tertentu. Pada umumnya periodenya satu tahun yang disusun setiap akhir periode anggaran.

b. Anggaran Kontinu (continuous budget) adalah anggaran yang dibuat untuk mengadakan perbaikan atas anggaran yang pernah dibuat. Misalnya, tiap bulan diadakan perbaikan sehingga anggaran yang dibuat dalam setahun mengalami perubahan.

3. Menurut jangka waktunya, anggaran terdiri dari anggaran jangka

pendek dan anggaran jangka panjang.

a. Anggaran jangka pendek (short-range budget) adalah anggaran yang dibuat dengan jangka waktu paling lama sampai satu tahun. Anggaran untuk keperluan modal kerja merupakan anggaran jangka pendek. Anggaran jangka pendek disebut juga dengan anggaran taktis.

b. Anggaran jangka panjang (long-range budget) adalah anggaran yang dibuat dengan jangka waktu lebih dari satu tahun. Anggaran untuk keperluan investasi barang modal merupakan anggaran jangka panjang yang disebut dengan anggaran modal (capital budget). Anggaran jangka panjang tidak mesti berupa anggaran modal. Anggaran jangka panjang diperlukan sebagai dasar penyusunan anggran jangka pendek. Anggaran jangka pendek disebut juga dengan anggaran startegis.

4. Menurut bidangnya, anggaran terdiri dari anggaran Operasional dan anggaran keuangan.

a. Anggaran Operasional (operational budget) adalah anggaran untuk menyusun laporan laba/rugi. Contoh: anggaran penjualan, anggaran biaya pabrik, anggaran biaya bahan baku, anggran biaya tenaga kerja langsung, anggaran biaya overhead pabrik, dan anggaran beban usaha.

b. Anggaran keuangan (financial budget) adalah anggaran untuk menyusun anggaran neraca. Contoh: anggaran kas, anggaran piutang, anggaran sediaan, anggaran utang, dan anggaran neraca.

5. Menurut kemampuan menyusun, anggaran terdiri dari anggaran Komprehensif dan anggaran parsial.

a. Anggaran Komprehensif (comprehensive budget) adalah rangkaian dari berbagai jenis anggaran yang disusun secara lengkap. Anggaran komprehensif merupakan perpaduan dari anggaran operasional dan anggaran keuangan yang disusun secara lengkap.

b. Anggaran parsial (partially budget) adalah anggaran yang disusun secara tidak lengkap atau anggaran yang hanya menyusun bagian anggaran tertentu saja. Contoh: karena keterbatasan kemampuan, maka hanya dapat menyusun anggaran operasional.

6. Menurut fungsinya, anggaran terdiri dari anggaran tertentu dan anggaran kinerja.

a. Anggaran tertentu (appropriation budget) adalah anggaran yang diperuntukkan bagi tujuan tertentu dan tidak boleh digunakan untuk manfaat lain.

b. Anggaran kinerja (performance badget) adalah anggaran yang disusun berdasarkan fungsi kegiatan yang dilakukan dalam organisasi (perusahaan). Misalnya untuk menilai apakah biaya (beban) yang dikeluarkan oleh masing-masing aktivitas tidak melampaui batas.

7. Menurut metode penentuan harga pokok (penghargapokokan) produk, anggaran terdiri dari anggaran tradisional dan anggaran berdasar kegiatan.

a. Anggaran tradisional (traditional budget) atau anggaran konvensional (conventional budget) terdiri atas anggaran berdasar fungsional dan anggaran berdasar sifat.

b. Anggaran berdasar kegiatan (activity based budget) adalah anggaran yang dibuat dengan menggunakan metode penghargapokokan berdasar kegiatan (activity based costing) dan berfungsi unutk menyusun anggaran variabel dan anggaran induk.





2.2 Penyusunan Anggaran Material Proyek

Kontraktor akan memenangkan lelang jika penawaran yang diajukan mendekati OE/EE. dalam menentukan harga penawaran, kontraktor harus memasukkan aspek-aspek lain yang sekitarnya berpengaruh terhadap biaya proyek nantinya. Menurut Ervianto (2002:134), ada tahap-tahap yang harus dilakukan untuk menyusun anggaran biaya material adalah sebagai berikut:

1. melakukan pengumpulan data tentang jenis, harga serta kemampuan pasar menyediakan bahan/material konstruksi secara kontinu,

2. melakukan pengumpulan data tentang upah pekerja yang berlaku didaerah lokasi proyek dan atau upah pada umumnya jika pekerja didatangkan dari luar daerah lokasi proyek,

3. melakukan perhitungan analisis material dan upah dengan menggunakan analisis yang diyakini baik oleh sipembuat anggaran,

4. melakukan perhitungan harga satuan pekerjaan dengan memanfaatkan hasil analisa satuan pekerjaan dan daftar kuantitas pekerjaan,

5. membuat rekapitulasi.

Panitia anggaran umumnya berada langsung dibawah direksi. Sebab utamanya karena baik dalam penyusunannya maupun pelaksanaannya anggaran perlu melibatkan personalia dari berbagai fungsi operasional perusahaan. Menurut Harahap (2001:90) Ditinjau dari siapa yang membuat, maka penyusunan anggaran dapat dilakukan dengan tiga pendekatan.

1. Otoriter atau top down

Dalam metode Otoriter atau top down, budget disusun dan ditetapkan sendiri oleh pemimpin dan budget inilah yang harus dilaksanakan bawahan tanpa keterlibatan bawahan dalam penyusunannya, bawahan tidak diminta keikutsertaannya dalam menyusun budget. Metode ini ada baiknya jika karyawan tidak mampu menyusun budget atau dianggap akan terlalu lama dan tidak tepat jika diserahkan kepada bawahan.

2. Demokrasi atau bottom up

Budget disusun berdasarkan hasil keputusan karyawan. Budget disusun berdasarkan hasil keputusan karyawan. Budget disusun mulai dari bawahan sampai keatasan. Bawahan diserahkan sepenuhnya menyusun budget yang akan dicapainya dimasa yang akan datang. Metode ini tepat digunakan jika karyawan sudah memiliki kemampuan dalam menyusun anggaran dan tidak dikhawatirkan akan menimbulkan proses yang lama dan berlarut.

3. Campuran atau top down atau bottom up

Disini perusahaan menyusun budget dengan memulainya dari atas dan kemudian untuk selanjutnya dilengkapi dan dilakukan oleh karyawan bawahan. Jadi ada pedoman dari atasan atau pimpinan dan dijabarkan oleh bawahan sesuai dengan pengarahan atasan.

Pemakaian material merupakan bagian terpenting yang mempunyai persentase cukup besar dari total biaya proyek. Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa biaya material menyerap 50-70% dari biaya proyek, biaya ini belum termaksud biaya penyimpanan material. Oleh karena itu, penggunaan teknik manajemen yang baik dan tepat untuk membeli, menyimpan, mendistribusikan, dan menghitung material konstruksi menjadi sangat penting.



2.3 Anggaran Material Sebagai Alat Pengendalian Biaya Proyek

Menurut Carter (2006:6) mengatakan bahwa:

Pengendalian adalah usaha sistematis manajemen untuk mencapai tujuan. Aktivitas-akvitas dimonitor terus-menerus untuk memastikan bahwa hasilnya berada pada batasan yang diinginkan. Hasil aktual untuk setiap aktivitas dibandingkan dengan rencana, dan jika ada perbedaan yang signifikan, tindakan perbaikan dapat dilakukan.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengendalian dapat dianggap sebaga aktivitas untuk menemukan dan mengkoreksi penyimpangan-penyimpangan dalam hasil yang dicapai dari aktivitas-aktivitas yang apabila dalam pelaksanaannya ditemukan penyimpangan maka diadakan tindakan perbaikan agar rencana sejalan dengan pelaksanaan. Menurut Nasehatun (1999:214) ”Pengendalian biaya merupakan serangkaian langkah-langkah mulai dari penyusunan satu rencana biaya sampai kepada tindakan yang perlu dilakukan jika terdapat perbedaan yang sudah ditetapkan (rencana) dengan yang sesungguhnya (realisasi)”. Nesehatun (1999:214) mengemukan bahwa pada dasarnya, pengendalian biaya dapat dibagi dalam empat langkah sebagai berikut:

1. mencari dasar-dasar dan menetapkan standar untuk biaya,

2. membandingkan antara biaya standar dengan biaya yang sesungguhnya,

3. mencari dan menentukan bagian organisasi perusahaan ataupun diluarnya yang bertanggung jawab atas adanya penyimpangan, 4. melakukan tindakan perbaikan untuk mengurangi atau mengakhiri penyimpangan.



2.4 Analisis Penyimpangan Anggaran

Semua varians biaya baik yang menguntungkan atau merugikan perlu dianalisis dalam rangka pengambilan tindakan perbaikan dalam masa yang akan datang. Tindakan perbaikan ini berupa perbaikan atau revisi terhadap biaya standar dan perbaikan terhadap cara atau sistem kerja dan sebagainya. Menurut Rayburn (2000:433), sumber penyimpangan biaya material terjadi karena varians harga material (material price variance) dan varians kuantitas/efisiensi material (material quantity variance).

1 Varians harga material (material price variance) adalah mengukur selisih antara jumlah yang dibayar untuk kuantitas material tertentu dan yang seharusnya dibayar menurut standar yang telah ditetapkan. Dengan rumus sebagai berikut:

(harga material actual – harga material standar) x kuantitas material aktual

2. Varians kuantitas/efisiensi material (material quantity variance) adalah mengukur perbedaan antara kuantitas material yang digunakan dan kuantitas yang seharusnya digunakan menurut standar yang telah ditetapkan. Dengan rumus sebagai berikut:

(kuantitas material aktual – kuantitas material standar) x harga material standar

2.5

ANGGARAN MATERIAL SEBAGAI ALAT PENGENDALIAN BIAYA PADA PT. NINDYA KARYA (PERSERO) CABANG MEDAN
Kerangka Konseptual



Anggaran material

Taksiran kuantitas dan standar harga material

Pemakaian aktual dan harga material aktual








Pengendalian Biaya










Anggaran merupakan rencana rinci tentang perolehan dan penggunaan sumber daya keuangan serta sumber daya lainnya untuk suatu periode tertentu. Anggaran sebagai salah satu alat yang digunakan didalam pengendalian biaya. Jika anggaran disusun dengan baik maka akan memudahkan penilaian tingkat efisiensi setiap material. Pengendalian biaya berdasarkan anggaran dapat dilakukan dengan membandingkan anggaran yang dibuat dengan realisasinya, dimana perbandingan ini dapat ditinjau dari kuantitas dan harga material.



3. Metode Penelitian



Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentasi dan teknik wawancara.

1. Tehnik dokumentasi

Metode pengumpulan data dengan menganalisa dokumen-dokumen yang ada diperusahaan seperti : rencana penyusunan laporan anggaran dan biaya material proyek.

2. Tehnik wawancara

Pengumpulan informasi yang diperoleh dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada karyawan perusahaan dibagian keuangan/ akuntansi dan bagian administrasi diantaranya yakni:

a. bagaimana proses penyusunan anggaran material proyek yang dibuat oleh perusahaan?

b. apakah anggaran material yang telah direncanakan sesuai dengan realisasinya ?

Metode Analisis yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode deskriptif dengan cara mengumpulkan data, menggolongkan, menginterprestasikan kemudian dianalisis sehingga memperoleh gambaran yang lengkap tentang proses penyusunan anggaran material.



4. Hasil Analisis



4.1 Penyusunan Anggaran Material pada PT. Nindya Karya (Persero) Cabang Medan

Pada PT. Nindya Karya (Persero) Cabang Medan untuk memulai sebuah konstruksi adalah melalui proses tender. Perusahaan diundang oleh pihak pemberi kerja untuk mengikuti proses tender. Didalam hal biaya material, perusahaan menggunakan engineered materials berupa bestek atau rencana kerja. Material yang paling utama di gunakan dalam proyek ini salah satunya adalah besi, beton, batu bata dan semen. Material pendukung lainnya atau material yang hanya satu kali pemakaian saja seperti cat minyak, plint granit dan paper holder. Pada skripsi ini proyek yang akan dibahas adalah The royal Residence Apartment. Proyek ini kegiatan estimasi biaya anggaran dibuat oleh pihak kontraktor yaitu PT. Nindya karya (Persero) Cabang Medan dan hasil estimasi ini disebut EE (Engineer Estimate). Penyusunan anggaran perusahaaan menggunakan metode bottom up yaitu anggaran dibuat oleh bagian estimasi dan perencanaan yang kemudian di ajukan ke Project Manager. Menentukan harga penawaran PT. Nindya Karya (Persero) Cabang Medan menyusun anggaran material dengan beberapa tahap yaitu:

a. melakukan pengumpulan data mengenai jenis dan volume material, harga material, kualitas material dan pemilihan pemasok material serta ketersediaan material di pasar,

b. rencana dan daftar penyediaan material harus dibuat berdasarkan Time Schedule pelaksanaan, schedule ini harus dapat menunjukkan hal-hal mengenai material dan jumlah yang diperlukan dan kapan material tersebut harus sudah ada dilapangan,

c. membuat rekapitulasi anggaran material yang kemudian di ajukan ke Project Manager untuk di setujui.



4.2 Anggaran Material Sebagai Alat Pengendalian Biaya pada PT. Nindya Karya (Persero) Cabang Medan

Proses perencanaan dalam proyek konstruksi adalah memilih dan menentukan teknologi serta metode-metode konstruksi yang harus diterapkan. Pada PT. Nindya Karya (Persero) Cabang Medan untuk tahap awal pengendalian terlebih dahulu dibuat perencanaan yang disusun dalam anggaran biaya material, jadwal, urutan-urutan pelaksanaann kegiatan, kebutuhan sumber daya bagi pelaksanaan dan evaluasi proyek sehingga lebih memudahkan untuk melaksanakan proyek. Tahap awal pelaksanaan kegiatan pengendalian biaya material dengan memastikan bahwa anggaran material disusun secara efisien dan efektif. Tujuan pengendalian biaya yang ingin dicapai yaitu:

a. semua anggaran material yang telah dibuat dapat terealisasi dan menghasilkan sesuai target yang telah ditetapkan,

b. jika terjadi penyimpangan yaitu dengan membandingan anggaran yang dibuat dengan realisasi atau aktualnya,

c. jika penyimpangan tidak dapat dihindari maka dilakukan tindakan perbaikan agar sasaran tetap tercapai dengan biaya dapat dikendalikan.

Agar pengendalian benar-benar efektif dan efisien maka pengendalian dapat mencerminkan adanya penyimpangan dari rencana sehingga berdasarkan penyimpangan tersebut dapat diambil tindakan selanjutnya dan dievaluasi didalam pelaksanaan proyek. Pada dasarnya perusahaan melakukan pengendalian biaya dengan menganlisis penyimpangan yakni membandingkan anggaran yang dibuat dengan realisasinya.



4.3 Analisis Hasil Penelitian



4.3.1 Analisis Penyusunan Anggaran Biaya Material

Pada proyek The Royal Residence Apartement penyusunan anggaran material dilakukan pada bagian site manager. Jadi ada komite khusus didalam membuat anggaran. Cara penyusunan anggaran PT. Nindya Karya (Persero) Cabang Medan mengunakan metode bottom up yaitu anggaran disusun berdasarkan hasil keputusan site manager kemudian di sampaikan ke project Manager.



4.3.2 Analisis Anggaran Material Sebagai Alat Pengendalian Biaya Material

Pengendalian biaya material dapat dilakukan dengan cara membandingkan hasil pekerjaan terhadap material yang sudah sesuai dengan yang dianggarkan dalam proyek. Dalam proyek The Royal Residence Apartement ini pengendalian biaya material dilakukan secara melakukan lapangan dengan memastikan kualitas material yang digunakan sudah sesuai dengan yang dianggarkan yaitu dengan melakukan pengecekan dan pengukuran ulang terhadap dimensi dan konstruksi aktual dari beton yang ditempelkan didinding basement ruko di lapangan dan pemeriksaan kualitas. Pemeriksaan ini dilakukan agar memastikan tidak ada penyelewengan material oleh pekerja dengan hanya memberi wewenang kepada satu pekerja dalam pengambilan material digudang serta melakukan pembersihan dan perapian peralatan kerja setiap selesai kerja dan menghitung ulang kembali jumlah material yang tersisa, sehingga bila terjadi kelebihan kuantitas material dapat diidentifikasi dan kelebihan tersebut bisa langsung dikembalikan ke gudang material. Dari segi penyimpangan setelah proyek selesai dalam pelaporan ada tampak beberapa penyimpangan dari segi satuan material. Penyimpangan yang menguntungkan (favorable) dan yang tidak menguntungkan (unfavorable).



5. Kesimpulan dan Saran



5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dapat penulis ambil dari pembahasan pada bab terdahulu.

1. PT. Nindya Karya (Persero) Cabang Medan dalam penyusunan anggaran material menggunakan metode bottom up

2. Perusahaan menggunakan anggaran biaya material sebagai alat pengendalian biaya material dengan membandingkan antara anggaran dan realisasi pada setiap proyek yang telah diselesaikan

3. PT. Nindya Karya (Persero) Cabang Medan dalam menetapkan anggaran harga satuan didasarkan kepada harga standar yakni yang telah ditetapkan didalam kontrak.

4. Dasar penyusunan anggaran PT. Nindya Karya (Persero) Cabang Medan menggolongkan anggaran berdasarkan fungsinya yaitu anggaran secara khusus dibuat untuk tujuan proyek tertentu saja serta berdasarkan pedoman dan pengalaman dari proyek-proyek sebelumnya.





5.2 Saran

Dari kesimpulan-kesimpulan di atas, penulis memberikan saran-saran.

1 Sebaiknya perusahaan membuat catatan mengenai penyimpangan baik yang favorable atau unfavorable, sehingga memudahkan bagi pihak yang membaca atau yang menggunakan laporan tersebut.

2. Sebelum anggaran disetujui oleh site manager sebaiknya perusahaan harus melakukan pengecekan terhadap material yang dibutuhkan dalam proyek.

3. Penyimpangan harga material sebaiknya dievaluasi dan diteliti dengan harga aktual sebelum material dibeli sehingga tidak terjadi penyimpangan.

4. Sebaiknya untuk tujuan pengendalian sebaiknya estimasi satuan material tidak di mark up terlalu tinggi dari realistisnya, dan diharapkan disusun mendekati realistisnya sehingga tidak menimbulkan penyimpangan yang cukup signifikan.