Manusia Hebat dari Kedungserut
* Ragam
* Republika
Kami makan, hanya saat benar-benar lapar", tandas Parman .(40). Siang itu, panas menyengat, seakan hendak membakar daun-daun jati kering di hutan Kedungserut, Jiken, Blora. Tapi, Parman bergeming, ia terus menggali akar kayu jati bekas ditebang. Sekujur tubuhnya dibasahi peluh.
Untuk mengangkat akar jati yang tertimbun tanah, Parman menggali hingga dua meter. Jika akar itu terangkat, ia belah jadi potongan kayu bakar. Selendang kumal. terikat kuat di perut. Tulang rusuknya tampak jelas dilapisi kulit tipis mengkilap, karena keringat. Selendang itu bukan jimat kekuatan. Tapi cara untuk menahan lapar. Mengingatkan, tatkala Rasulullah mengganjal perut pakai batu, untuk menahan lapar. Parman dan pencari kayu lainnya di hutan Kedungserut, melakukan kebiasaan itu, agar tenaga mampu bertahan hingga sore hari.
Perjuangan hidup di hutan Kedungserut, dimulai Parman dan para pencari kayu bakar lainnya, sejak lepas subuh. Mereka berbekal air putih. Menuju hutan, 15 km dari rumah mengendarai sepeda pancal. Sepeda tua yang umurnya sudah puluhan tahun. Kadang, rantainya putus di tengahjalan, kerap juga bannya yang meletus.Blora, dikenal daerah sulit air. Masyarakat desa, mengandalkan hidup dari bertani. Tapi, curah hujan yang kecil, menyebabkan panen rata-rata satu kali setahun. Selanjutnya, mereka mengisi hari-hari dengan merantau menjadi buruh bangunan di kota-kota besar.
Meski alamnya keras, banyak juga yang tak lari dari Blora. Mereka tetap bertahan, dengan sumber daya hidup yang terbatas. Bagi yang punya tenaga kuat, mencari kayu bakar seperti Parman, jadi satu-satunya harapan hidup. Meski, antara tenaga yang diperas dengan penghasilan tidak sebanding.Parman dan teman senasibnya, mulai keluar hutan lepas Duhur. Mereka menyusun tumpukan kayu bakar, hingga dua meter di atas sepeda. Dari dalam hutan, perlahan-lahan sepeda yang sarat muatan kayu bakar, didorong. Tangan-tangan kering, tapi agak kekar itu, bergetar hebat menopang keseimbangan kayu dan sepeda. Sulit membedakan, bergetar karena menahan lapar apa lantaran berat. Tapi, tampak dua-duanya.
Siang merambat pukul 13.30, Parman beriringan dengan temannya menyusuri jalan raya Cepu - Blora. Panas membakaraspal, yang tampak mendidih dari kejauhan. Tapi, kaki para pencari kayu bakar itu, menapak tanpa alas kaki. Dari hutan Kedungserut, mereka menuju ke pusat kota, seperti Jepon. Jika jalan datar dan turun, sepeda sarat muatan itu, dikayuh pelan-pelan.Mereka menempuh jarak 15 km, sembari menjajakan kayu di sepanjang jalan. Jika nasib baik, belum sampai pasar dan tempat pengepul, kayu mereka sudah ada yang membeli di perjalanan. Satu sepeda, biasanya dibeli Rp 25 ribu. Mereka mencari kayu tiap hari, akan istirahat jika badan benar-benar lelah.
Parman, bukan hanya manusia hebat bagi keluarganya. Ia juga pahlawan bagi negaranya. Tiap tahun, ia taat membayar pajak tanah. Dengan lugu ia mengaku, tak mampu membantu Negara, tapi dengan bayar pajak tanah tiap tahun, ia bangga telah berpartisipasi membangun bangsa.Saya tersedak, mendengar ungkapan manusia hebat itu. Sekaligus malu, melihat perilaku jahat pengelola pajak yang korup macam Gayus dan teman-temannya. Faktanya, bangsa ini tak rapuh karena orang-orang miskin yang mandiri, tapi terancam hancur oleh kelompok elit dan penguasa yang serakah. Memajukan! adv
Selasa, 08 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar